Senin, 16 Februari 2009

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DISEKITAR HUTAN
KAWASAN KONSERVASI


By Syamsul Bahri, SE TN Bukit Dua Belas, Dosen STIE-SAK

dan Zozi Algopeng, PEH TN Bukit Dua Belas


Berdasarkan data statistik tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9 juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa (22,19%). tinggal sekitar dan didalam hutan dan sekitar 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Departemen Kehutanan, 2006), terlepas apakah meneuhi indikator kemiskinan atau tidak. Namun Identifikasi permasalahan kemiskinan dari berbagai pandangan, masyarakat merupakan sesuatu hal yang sangat perlu untuk menjadikan Indikator kemiskinan secara terpadu, tentunya penyebab kemiskinan dan strategi pengentasan kemiskinan juga akan dimunculakn dalam hasil Identifikasi kemiskinan.

Kalau kita simak pernyataan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, ini menggambarkan secar umum penyebab kemiskinan di Indonesia, lain halnya dengan masyarakat sekitar hutan sebanyak 10,2 juta jiwa, dimana faktor lingkungan belum menjadi persoalan, tetapi pada pengamatan penulis bahwa faktor kemiskinan bagi masyarakat sekitar hutan terutama kawasan konservasi, lebih disebabkan akesibilitas dan akses terhadap sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang sangat sulit

Fakta mengatakan secara umum kegiatan pengelolaan hutan yang berorientasi pada timber product selama ini untuk mendapatkan dan meningktakan pertumbuhan ekonomi melalui pola Hak Pengusahaan Hutan telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. sehingga menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat, karena timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar-masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.

Sedangkan masyarakat sekitar hutan konservasi terkesan sebagai masyarakat yang dimarginalkan oleh sistim, karena kawasan konservasi yang dikenal dengan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi kawasan Cagar Alam, Suaka Marga Sarwa dan Taman Nasional, akses dan pemanfaatan untuk masyarakat sangat kecil dari pemanfaatan sumber daya alam, walaupun secara hakiki beberapa pemanfaatan hasil hutan non timber yang berorientasi pada pelestarian cenderung dibatasi, seperti dikawasan Cagar Alam yang memiliki Obyek wisata Alam, tanaman obat, buah-buahan dll, namun tidak bisa dimanfaatkan, dan kawasan Taman Nasional yang memiliki potensi non timber sangat sulit utuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, maka untuk permaslahan ini, sebaiknya adanya regulasi yang berfihak kepada masyarakat dengan tetap mengacu pada upaya pelestarian, sehingga tidak terkesan regulasi yang keluar berfihak kepada pemodal, kemudian pendekatan harus disesuaikan dengan karakterstik wilayah, melalui pendakatan kewilayahan adat dan/atau administratif, karena beberapa daerah luar jawa, pendekatan tidak dengan wilayah desa

Pendekatan bantuan yang digunakan tidak berorientasi pada ekonomi saja, tetapi melaui pendekatan ekonomi dan pelestarian, yaitu ekonomi produktif (peningkatan ekonomi rumah tangga –PERT), peningkatan sarana dan prasarana yang sederhana serta pedekatan konservasi melalui sebuah Kesepakatan seperti di TNKS dikenal dengan nama Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) serta diharapkan adanya perguliran dana (revolving fund) baik ditingkat kelompok maupun lintas kelompok. adapun bantuan ekonomi, secara specifik bagaimana bantuan tersebut dapat memberikan value ekonomi dan mengurangi tekanan pada kawasan konservasi, sehingga masyarakat disibukan dengan kegiatan ekonomi yang berorientasi pasar

Dengan melihat beberapa program pemberdayaan di tingkat masyarakat baik sekitar kawasan konservasi maupun diluar, pola pemberdayaan masyarakat lebih cenderung membuat kecemburuan sosial bagi kelompok lain, kecemburuan tersebut justru menjadi dilematis dalam upaya pelestarian, sehingga pemberdayaan diharapkan dapat mengatasi kecemburuan sosial tersebut, sehingga pemberdayaan masyarakat harus jelas indikator yang terukur, sehingga dapat menentukan proiritas pemberdayaan yang secara pengelompokan dapat dikategorikan ada kelompok pemberdayaan sebagai berikut (1)Kelompok pemberdayaan partisipatif, seperti kelompok masyarakat yang telah membina hutan dalam bentuk hutan adat/desa sebagai buffer kawasan Konservasi tentunya kelompok ini perlu pembinaan dan pemberdayaan melalui penghargaan (reward) dan pemberdayaan ekonomi yang merupakan insentif dan penghargaan konservasi, (2) Kelompok pemberdayaan interksi negatif dengan kawasan cukup tinggi karena masalah ekonomi dan masalah kesadaram hukum, maka kelompok ini pemberdayaan diarahkan melalui pemberdayaan ekonomi dan kesadaran hukum, melalui penyuluhan maupun upaya hukum seperti tindakan refresief dan (3) Kelompok pemberdayaan yang masyarakatnya pasief melalui pemberdayaan rangsangan ekonomi dan rangsangan konservasi. Tiga kelompok pemberdayaan ini menjadi kelompok Model Desa Konservasi (MDK), yaitu merupakan kelompok model bagimana permasalahan ekonomi, hukum dan konservasi dapat disandingkan sesuai dengan tingkat indikator permasalahan.

Tentunya sesuai dengan Ketentuan bahwa masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dari aspek UU No. 32 Tahun 2004 menjadi bagian dari Pemerintah Kabupaten/Propinsi, namun Departemen Kehutanan sesuai dengan Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2: “Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh negara untuk penyelenggaraan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Akses masyarakat terhadap sumber daya hutan harus diatur tidak hanya yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan hak tetapi juga akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan negara. Mengenai hak atas hutan, dan sangat disadari pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan suatu hal yang baru, namun belum optimal dalam sinergitas, sehinga terkesan kurang terarah, dan bahkan sering terjadi tumpang tindih kegiatan. maka Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan harus terpadu dengan Pemerintah Kabupaten/Provinsi, yang terintegrasi dalam perencanaan yaitu masterplan Pemberdayaan masyarakat di massing-masing Kabupaten tentunya mempedomani rencana makro pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan Depatemen Kehutanan dan Pemerintah Kabupaten/Propinsi. integrasi dalam pemberdayaan, tidak hanya integrasi dalam perencanaan, tetapi integrasi dalam implementasi, karena sangat disadari bahwa secara specifik petugas lapangan kehutanan belum pengetahuan sangat terbatas bidang pertanian, peternakan, koperasi, perkebunan dll, maka integari dengan melibatkan keahlian dan tugas pokok dan fungsi, serta terintegrasi dalam perencanaan di tingkat desa melalui Musyawarah desa, Kecamatan dan kabupaten. 

Dalam banyak permalahan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan baik secara langsung atau tidak langsung, padahal hutan konservasi dengan fungsi ekologis memberikan manfaat yang bernilai ekonomi tinggi kepada masyarakat yang berada dihilirnya, baik kesuburan tanah untuk pertanian dan perkebunan, transportasi air, PLTA, air bersih, PDAM dll, sehingga terkesan masyarakat dan Pemerintah kabupaten sekitar kawasan konservasi sebagai LILIN yang menerangi orang lain, dalam kontek ini perlu adanya regulasi untuk mengatsi GAP antara Kabupaten yang memiliki kawasan konservasi cukup luas dengan kabupaten yang memiliki kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan untuk mengelembungkan PAD yang berasal dari Hasil Hutan berupa timber dan non timber serta manfaat ekologis lainnya, sementara Kabupaten yang didominasi Kawasan Konservasi sangat sulit untuk mendapatkan PAD dan meningkatkan kesejahteraan dari Sumber Daya Hutan, kebijakan ini mungkin melalui Sub Sidi Silang dari Kabupaten yang berada di hilir ke hulu, pajak hijau, DAU/DAK serta pendanaan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus Konservasi (DAK-K) dan kebjakan lainnya secara makro dan internasional.

Dalam kontek Pemberdayaan masyarakat menuju pemenuhan ekonomi sekitar kawasan konservasi tentunya memiliki ciri khas sendiri yang sfesifik, satu sisi mereka membutuhkan pemberdayaan dalam rangka mendukung hudup dan kehidupan, satru sisi mereka punya tanggung jawab moral dan hukum untuk mempertahankan kawasan sebagai penyangga kehidupan. ini cukup dilematis.

Dengan melihat pola pemberdayaan ekonomi yang dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat melalui Program Integrated Conservation Developmen Program (ICDP), yang mengintegrasikan pemberdayaan ekonomi dan conservasi secara multi sectoral melalui Bappeda Kabupaten, dari pengamatan penulis fakta masih mengalim hambatan, maka untuk pemberdayaan masyarakat oleh Direktorat Jenderal PHKA, ada baiknya kita melihat dan mengkaji aspek yang menjadi hambatan tersebut, walaupun proses telah dilakukan melalui pendekatan Kesepakatan Konservasi Desa dengan proses fasilitasi pendekatan PRA

Kehatian-hatian dan ketelitian analisis dan hipotesa untuk mencermati permasalahan kemiskinan memang menjadi bagian dari sebuah proses perencanaan, karena sudah banyak ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui Indicator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemisikinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia, tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”

Perlu kita simak pertanyaan Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru? 

Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum mengena sasaran?, kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil, bahkan kemiskinan menurun ke anak cucu (syamsul Bahri, email syamsul_12@yahoo.co.id, Zozi Algopeng , email zozi.algopen@yahoo.com>)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar