Selasa, 17 Februari 2009

PEMBENTUKAN MASYARAKAT PEDULI API

TAMAN NASIONAL BUKIT DUA BELAS

Kawasan hutan Bukit Duabelas ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 dengan luas ± 60.500 Ha.

Kebijakan penunjukan kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) selain diarahkan untuk tujuan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya seperti layaknya kawasan taman nasional di Indonesia, juga mengemban mandat (misi) khusus sebagai tempat perlindungan bagi keberlangsungan hidup masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang tinggal di dalam kawasan tersebut.

Oleh karena keberadaan masyarakat SAD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan TNBD maupun sebaliknya, maka dari aspek kebijakan maupun perlakuan pengelolaan kawasan TNBD tidak tertutup kemungkinan terdapat hal-hal yang sedikit berbeda dengan kebijakan atau pengelolaan yang diterapkan di taman nasional lain pada umumnya.

Disadari bahwa sampai dengan saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan pengelolaan taman nasional yang bersifat khusus seperti pada kasus yang ada di TNBD, sehingga untuk itu perlu dibangun kesamaan persepsi atau pemahaman antar para pihak mengenai kebijakan pengelolaan yang telah, sedang dan akan dilakukan di TNBD.

Disadari bahwa dalam pengelolaan TNBD, peran serta aktif masyarakat menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, agar tujuan dan fungsi pengelolaan dapat dipertahankan, 


Trend Kebakaran Hutan, yang menjadi permasalahan nasional, menjadi bagian permasalahan dalam pengelolaan TNBD, maka dibutuhkan upaya pencegahan dan antisipasi dini kebakaran kawasan TNBD yang meliputi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, Tebo dan Kabupaten Batang Hari. 

Berdasarkan pemantauan Hot Spot di kawasan TNBD beberapa tahun kebelakang, bahwa kecenderungan bahwa TNBD termasuk kawasan yang rawan kebakaran hutan, karena dikelilingi oleh Perusahaan Kebun Sawit dan Karet serta perkebunan masyarakat, sehingga dipandang perlu membentuk kelompok Masyarakat Peduli Api, secara terpadu dan terorganisir melalui suatu lembaga atau organisasi yang diharapkan handal dan partisipatif dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan


Upaya pembentukan dan rekrutmen angota Masyarakat Peduli Api yang berkwalitas salah satunya adalah dengan pembentukan Masyarakat Peduli Api yang berada disekitar kawasan dan dalam kawasan TNBD yang rawan kebakaran

Masyrakat Peduli API (MPA) TNBD akan dibentuk pada bulan Maret 2009, di Resort Sungai Jerni Wilayah SPTN II Kabupaten Tebo, dengan anggota berasal dari masyarakat yang berada di sekitar kawasan TNBD



BERKACA DICERMIN RETAK
 (MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH)
(by Syamsul Bahri, SE, Conservationis di TNBD Jambi)

Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan. 

Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif handak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity cost, maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya: 
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghnetikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan
2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan. 
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia. 
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai. 
Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi
1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..
2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas. 
3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..
4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat. 
5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.
Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.
Kondisi nyata, bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya. 
kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?
Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminimalkan bencana. 
 

KEMISKINAN DAN EKOLOGIS DI INDONESIA ?
(Kerusakan Ekologis Sebabkan Kemiskinan di Indonesia)

(By Syamsul Bahri. SE, Conservationis pada BTNBD dan Dosen pada STIE Sakti Alam Kerinci)
Syamsul_12@yahoo.co.id

Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh, Negara yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permaslahaan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu, dll suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.

Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui Indicator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemisikinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia, tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”
Perlu kita simak pertanyaan Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru? 
Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum mengena sasaran?, kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.
 
Dari Pengamatan dan evaluasi penulis, Identifikasi permasalahan kemiskinan dari berbagai pandangan, masyarakat merupakan sesuatu hal yang sangat perlu untuk menjadikan Indikator kemiskinan secara terpadu, tentunya penyebab kemiskinan dan strategi pengentasan kemiskinan juga akan dimunculakn dalam hasil Identifikasi kemiskinan.

Pengertian dan Indicator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi, sehingga Indicator Human Development Report (HDR) bahwa pembangunan harus terfocus pada tujuan akhir menjadikan kesejahteraan manusia

Untuk mewujudkan tujuan akhir pembangunan dalam rangka mengetaskan kemiskinan, harus jelas Indikator dan penyebab kemiskinan.

Dari Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI), kemiskinan di Indonesia semakin bertambah, untuk mengatasi kemiskinan telah dilakukan dan akan terus dilakukan kegiatan pengentasan kemiskinan melalui program pengentasan, namun jumlah kemiskinan semakin bertambah, sehingga timbul pertanyaan ”Ada apa dengan kemiskinan Indonesia ?” beberapa kemungkinan jawaban antara lain ”Apakah tujuan dan fokus pembangunan yang belum tepat ? (sesuai dengan potensi yang ada), ”Apakah Indikator dan penyebab kemiskinan yang belum jelas ?”, kalau keduanya belum jelas tentunya program pengentasan kemiskinan jega tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan

Debagaimana statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, bahkan di era otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam, namun hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan fuinancial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa dan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administrtif bahkan berdeimensi regional dan global), sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti
Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit, sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional terhadap pusar-pusat ekonomi yang ada di kota. 
Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita. 
Kemiskinan dan kerusakan ekologis sesuatu yang sangat sulit dipisahkan, karusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia. Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini. Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.  
Bencana dapat didefinisikan adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luar biasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia, bencana tersebut menyebabkan menjadi bencana pembanganunan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan social ekonomi, dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis mejadi salah satu factor utama kemiskinan di Indonesia, hal ini dibuktikan Di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa). kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO), misalnya kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap
Bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyenbabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis, sehinga pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.
Jika tidak segera diambil langkah bersama secara cepat dan simultan, kehancuran akan semakin parah. Kemiskinan dan kehancuran ekologis akan terus merebak. Bencana kehancuran ekologis tidak lagi dalam hitungan ratusan atau puluhan tahun, tapi malah dalam hitungan satu generasi.

Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan financial semata-mata, yang menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan beragai alasan untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang, Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi.

Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legeslatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legeslatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusha untuk meruebut dan mempertahankan kekuasanan dengan mebayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.
  

Pembangunan pada masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan bahkan menghilangkannya, yaitu semenjak tahun 1971 Hutan dijadikan areal HPH sebagai modal Pembangunan yang menghasilkan devisa utama dalam pembangunan, dan pembangunan perkotaan, Industrial dll. lingkungan dan ekosistem yang ada banyak dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi semata-mata, sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang dan memberikan nilai ekonomi jangka pendek, namun secara ekologi dan ekonomi menurun dalam jangka panjang. Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.

Sistim ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan opportunity cost baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dll hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahuhi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini

Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA) pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali. Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya. 


Manusia memang tidak bisa lepas dari ekosistem yang besar (planet bumi) sebagai penyedia jasa dan produk dari kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu pernyataan seorang militer Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pengelolaannya hanya kepada para ekonom saja. Sementara itu, arus utama pemikiran ekonomi terlalu menitikberatkan pada pelaku sosial (social sphere/anthropocentric) dengan mendiskusikan persoalan yang terkait dengan nilai keputusan (value decisions), tingkah laku pelaku ekonomi (economic actors/agents) dan mekanisme pasar (market mechanism). Mereka sering lupa atau bahkan melupakan diri bahwa distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pasar itu berasal dari dunia material (ekosistem), lingkungan, sistem planet bumi itu sendiri. Pengabaian peran ekologi sesungguhnya tidak ditermukan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Pengabain ini pantas disebut sebagai kecelakaan sejarah karena dalam perkembangannya telah banyak ilmuwan baik dari kalangan ecologists maupun economists yang mengkritik pemikiran dari penganut ortodoks neoklasik. Khususnya pemikiran yang menganggap sumberdaya (biosfer bumi) tidak ada batasannya dan tidak mempercayai hukum yang berlaku di alam. Demikian juga dengan pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.





Senin, 16 Februari 2009

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DISEKITAR HUTAN
KAWASAN KONSERVASI


By Syamsul Bahri, SE TN Bukit Dua Belas, Dosen STIE-SAK

dan Zozi Algopeng, PEH TN Bukit Dua Belas


Berdasarkan data statistik tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9 juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa (22,19%). tinggal sekitar dan didalam hutan dan sekitar 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Departemen Kehutanan, 2006), terlepas apakah meneuhi indikator kemiskinan atau tidak. Namun Identifikasi permasalahan kemiskinan dari berbagai pandangan, masyarakat merupakan sesuatu hal yang sangat perlu untuk menjadikan Indikator kemiskinan secara terpadu, tentunya penyebab kemiskinan dan strategi pengentasan kemiskinan juga akan dimunculakn dalam hasil Identifikasi kemiskinan.

Kalau kita simak pernyataan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, ini menggambarkan secar umum penyebab kemiskinan di Indonesia, lain halnya dengan masyarakat sekitar hutan sebanyak 10,2 juta jiwa, dimana faktor lingkungan belum menjadi persoalan, tetapi pada pengamatan penulis bahwa faktor kemiskinan bagi masyarakat sekitar hutan terutama kawasan konservasi, lebih disebabkan akesibilitas dan akses terhadap sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang sangat sulit

Fakta mengatakan secara umum kegiatan pengelolaan hutan yang berorientasi pada timber product selama ini untuk mendapatkan dan meningktakan pertumbuhan ekonomi melalui pola Hak Pengusahaan Hutan telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. sehingga menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat, karena timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar-masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.

Sedangkan masyarakat sekitar hutan konservasi terkesan sebagai masyarakat yang dimarginalkan oleh sistim, karena kawasan konservasi yang dikenal dengan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi kawasan Cagar Alam, Suaka Marga Sarwa dan Taman Nasional, akses dan pemanfaatan untuk masyarakat sangat kecil dari pemanfaatan sumber daya alam, walaupun secara hakiki beberapa pemanfaatan hasil hutan non timber yang berorientasi pada pelestarian cenderung dibatasi, seperti dikawasan Cagar Alam yang memiliki Obyek wisata Alam, tanaman obat, buah-buahan dll, namun tidak bisa dimanfaatkan, dan kawasan Taman Nasional yang memiliki potensi non timber sangat sulit utuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, maka untuk permaslahan ini, sebaiknya adanya regulasi yang berfihak kepada masyarakat dengan tetap mengacu pada upaya pelestarian, sehingga tidak terkesan regulasi yang keluar berfihak kepada pemodal, kemudian pendekatan harus disesuaikan dengan karakterstik wilayah, melalui pendakatan kewilayahan adat dan/atau administratif, karena beberapa daerah luar jawa, pendekatan tidak dengan wilayah desa

Pendekatan bantuan yang digunakan tidak berorientasi pada ekonomi saja, tetapi melaui pendekatan ekonomi dan pelestarian, yaitu ekonomi produktif (peningkatan ekonomi rumah tangga –PERT), peningkatan sarana dan prasarana yang sederhana serta pedekatan konservasi melalui sebuah Kesepakatan seperti di TNKS dikenal dengan nama Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) serta diharapkan adanya perguliran dana (revolving fund) baik ditingkat kelompok maupun lintas kelompok. adapun bantuan ekonomi, secara specifik bagaimana bantuan tersebut dapat memberikan value ekonomi dan mengurangi tekanan pada kawasan konservasi, sehingga masyarakat disibukan dengan kegiatan ekonomi yang berorientasi pasar

Dengan melihat beberapa program pemberdayaan di tingkat masyarakat baik sekitar kawasan konservasi maupun diluar, pola pemberdayaan masyarakat lebih cenderung membuat kecemburuan sosial bagi kelompok lain, kecemburuan tersebut justru menjadi dilematis dalam upaya pelestarian, sehingga pemberdayaan diharapkan dapat mengatasi kecemburuan sosial tersebut, sehingga pemberdayaan masyarakat harus jelas indikator yang terukur, sehingga dapat menentukan proiritas pemberdayaan yang secara pengelompokan dapat dikategorikan ada kelompok pemberdayaan sebagai berikut (1)Kelompok pemberdayaan partisipatif, seperti kelompok masyarakat yang telah membina hutan dalam bentuk hutan adat/desa sebagai buffer kawasan Konservasi tentunya kelompok ini perlu pembinaan dan pemberdayaan melalui penghargaan (reward) dan pemberdayaan ekonomi yang merupakan insentif dan penghargaan konservasi, (2) Kelompok pemberdayaan interksi negatif dengan kawasan cukup tinggi karena masalah ekonomi dan masalah kesadaram hukum, maka kelompok ini pemberdayaan diarahkan melalui pemberdayaan ekonomi dan kesadaran hukum, melalui penyuluhan maupun upaya hukum seperti tindakan refresief dan (3) Kelompok pemberdayaan yang masyarakatnya pasief melalui pemberdayaan rangsangan ekonomi dan rangsangan konservasi. Tiga kelompok pemberdayaan ini menjadi kelompok Model Desa Konservasi (MDK), yaitu merupakan kelompok model bagimana permasalahan ekonomi, hukum dan konservasi dapat disandingkan sesuai dengan tingkat indikator permasalahan.

Tentunya sesuai dengan Ketentuan bahwa masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dari aspek UU No. 32 Tahun 2004 menjadi bagian dari Pemerintah Kabupaten/Propinsi, namun Departemen Kehutanan sesuai dengan Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2: “Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh negara untuk penyelenggaraan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Akses masyarakat terhadap sumber daya hutan harus diatur tidak hanya yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan hak tetapi juga akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan negara. Mengenai hak atas hutan, dan sangat disadari pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan suatu hal yang baru, namun belum optimal dalam sinergitas, sehinga terkesan kurang terarah, dan bahkan sering terjadi tumpang tindih kegiatan. maka Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan harus terpadu dengan Pemerintah Kabupaten/Provinsi, yang terintegrasi dalam perencanaan yaitu masterplan Pemberdayaan masyarakat di massing-masing Kabupaten tentunya mempedomani rencana makro pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan Depatemen Kehutanan dan Pemerintah Kabupaten/Propinsi. integrasi dalam pemberdayaan, tidak hanya integrasi dalam perencanaan, tetapi integrasi dalam implementasi, karena sangat disadari bahwa secara specifik petugas lapangan kehutanan belum pengetahuan sangat terbatas bidang pertanian, peternakan, koperasi, perkebunan dll, maka integari dengan melibatkan keahlian dan tugas pokok dan fungsi, serta terintegrasi dalam perencanaan di tingkat desa melalui Musyawarah desa, Kecamatan dan kabupaten. 

Dalam banyak permalahan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan baik secara langsung atau tidak langsung, padahal hutan konservasi dengan fungsi ekologis memberikan manfaat yang bernilai ekonomi tinggi kepada masyarakat yang berada dihilirnya, baik kesuburan tanah untuk pertanian dan perkebunan, transportasi air, PLTA, air bersih, PDAM dll, sehingga terkesan masyarakat dan Pemerintah kabupaten sekitar kawasan konservasi sebagai LILIN yang menerangi orang lain, dalam kontek ini perlu adanya regulasi untuk mengatsi GAP antara Kabupaten yang memiliki kawasan konservasi cukup luas dengan kabupaten yang memiliki kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan untuk mengelembungkan PAD yang berasal dari Hasil Hutan berupa timber dan non timber serta manfaat ekologis lainnya, sementara Kabupaten yang didominasi Kawasan Konservasi sangat sulit untuk mendapatkan PAD dan meningkatkan kesejahteraan dari Sumber Daya Hutan, kebijakan ini mungkin melalui Sub Sidi Silang dari Kabupaten yang berada di hilir ke hulu, pajak hijau, DAU/DAK serta pendanaan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus Konservasi (DAK-K) dan kebjakan lainnya secara makro dan internasional.

Dalam kontek Pemberdayaan masyarakat menuju pemenuhan ekonomi sekitar kawasan konservasi tentunya memiliki ciri khas sendiri yang sfesifik, satu sisi mereka membutuhkan pemberdayaan dalam rangka mendukung hudup dan kehidupan, satru sisi mereka punya tanggung jawab moral dan hukum untuk mempertahankan kawasan sebagai penyangga kehidupan. ini cukup dilematis.

Dengan melihat pola pemberdayaan ekonomi yang dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat melalui Program Integrated Conservation Developmen Program (ICDP), yang mengintegrasikan pemberdayaan ekonomi dan conservasi secara multi sectoral melalui Bappeda Kabupaten, dari pengamatan penulis fakta masih mengalim hambatan, maka untuk pemberdayaan masyarakat oleh Direktorat Jenderal PHKA, ada baiknya kita melihat dan mengkaji aspek yang menjadi hambatan tersebut, walaupun proses telah dilakukan melalui pendekatan Kesepakatan Konservasi Desa dengan proses fasilitasi pendekatan PRA

Kehatian-hatian dan ketelitian analisis dan hipotesa untuk mencermati permasalahan kemiskinan memang menjadi bagian dari sebuah proses perencanaan, karena sudah banyak ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui Indicator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemisikinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia, tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”

Perlu kita simak pertanyaan Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru? 

Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum mengena sasaran?, kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil, bahkan kemiskinan menurun ke anak cucu (syamsul Bahri, email syamsul_12@yahoo.co.id, Zozi Algopeng , email zozi.algopen@yahoo.com>)

Senin, 02 Februari 2009

Taman Nasional Bukit Duabelas


Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Semula kawasan ini merupakan kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan areal penggunaan lain yang digabung menjadi taman nasional. Hutan alam yang masih ada terletak di bagian Utara taman nasional ini, sedangkan yang lainnya merupakan hutan sekunder. 

Jenis tumbuhan yang ada antara lain bulian (Eusideroxylon zwageri), meranti (Shorea sp.), menggeris/kempas (Koompassia excelsa), jelutung (Dyera costulata), jernang (Daemonorops draco), damar (Agathis sp.), dan rotan (Calamus sp.). Terdapat kurang lebih 120 jenis tumbuhan termasuk cendawan yang dapat dikembangkan sebagai tumbuhan obat.

Taman nasional ini merupakan habitat dari satwa langka dan dilindungi seperti siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), beruk (Macaca nemestrina), macan dahan (Neofelis nebulosa diardi), kancil (Tragulus javanicus kanchil), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), 
kijang (Muntiacus muntjak montanus), meong congkok (Prionailurus bengalensis sumatrana), lutra Sumatera (Lutra sumatrana), ajag (Cuon alpinus sumatrensis), kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri), elang ular bido (Spilornis cheela malayensis), dan lain-lain.


Jumlah sungai dan anak sungai sangat banyak yang berasal dari dalam kawasan ini (terlihat di peta seperti serabut akar), sehingga kawasan ini merupakan daerah tangkapan air terpenting bagi Daerah Aliran Sungai Batanghari.

Keadaan topografi taman nasional ini datar sampai bergelombang sedang, dengan bukit/gunung seperti Bukit Suban, Sungai Punai (± 164 m. dpl), Gunung Panggang (± 328 m. dpl), dan Bukit Kuran (± 438 m. dpl).

   


Masyarakat asli suku Anak Dalam (Orang Rimba) telah mendiami hutan Taman Nasional Bukit Duabelas selama puluhan tahun. Suku Anak Dalam menyebut hutan yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai daerah pengembaraan; dimana mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara dan saling menghidupi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, suku Anak Dalam melakukan kegiatan berburu babi, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet untuk dijual. 

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:Taman Nasional Bukit Duabelas baru ditunjuk sebagai taman nasional, sehingga relatif belum ada fasilitas untuk pengunjung.

Musim kunjungan terbaik: bulan Juni s/d Oktober setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi :Cara pencapaian lokasi: Dari Jambi ke Pauh (menggunakan bis) melewati Muara Bulian sekitar 3 jam, dari Pauh dilanjutkan charter kendaraan ke Lubuk Jering dan Pematang Kabau sekitar 2 jam.
Kantor : Jl.  Kapten A. Chatib no. 60 Kelurahan Pematang Sulur Telanaipura Jambi
Telp. (0741) 61267, Jambi 36124